Balada Media Televisi

Akhir-akhir ini saya sering mengalami kekhawatiran yang melanda cukup deras ibarat hujan di hutan tropis pada bulan Januari. Entah 10 hingga 15 tahun yang akan datang, perlukah saya membeli televisi sebagai kebutuhan tersier di rumah saya nanti? Karena pada waktu itu nanti, kemungkinan yang terjadi adalah, saya sudah menikah dan mempunyai anak, lengkap dengan tanggung jawab sebagai seorang ibu rumah tangga yang juga ingin berkarier. Di mana, saya tidak bisa 24 jam penuh mengawasi apa yang anak saya lakukan dengan “sang-televisi”. Saya juga tidak tahu, apa dampak yang “televisi” berikan kepada anak saya nanti, ketika memang sepulang sekolah, anak saya akan langsung menonton siaran di televisi yang siap membius anak-anak kecil seperti yang terjadi saat ini. Saya justru berpikir, lebih baik saya subscribe internet berkecepatan tinggi, dengan firewall khusus untuk membatasi situs terlarang dan lebih mudah diawasi karena selalu tercatat pada data historikal-nya. Dan saya langsung membayangkan, jika ibu-ibu rumah tangga masa depan berpikiran sama seperti saya, mungkin saja rating penjualan televisi bisa menurun cukup drastis.

Namun ternyata saya salah.

Menurut tren yang pernah saya lihat di salah satu video prediksi teknologi digital di tahun 2015, penjualan televisi yang include dengan teknologi internet akan meningkat pesat di tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di dunia ini masih akan terus menganggap bahwa televisi ini adalah salah satu benda yang mungkin saja levelnya meningkat menjadi kebutuhan sekunder.

Atau alternatif lainnya adalah berlangganan tv kabel yang notabene 80% program televisi yang ada di dalamnya adalah program stasiun televisi asing. hal ini jelas akan lebih aman. Di mana kita dapat mengatur stasiun televisi apa sajakah yang akan membuat para ibu rumah tangga merasa tenang ketika meninggalkan sang anak di depan kubus elektrik tersebut. Namun permasalahan baru muncul. Lagi-lagi… Segitu-kurang-bermutu-kah stasiun televisi kita sehingga kita harus subscribe stasiun televisi asing. Bagaimana cara mengenalkan budaya Indonesia yang begitu indah seperti yang diceritakan orang-orang pada zaman orde baru? Pelik.

Awal Mula Kekhawatiran

Sebenarnya, kekhawatiran saya ini sudah terjadi ketika saya mulai mendapatkan title mahasiswa. Saya seringkali merasa tidak bisa menonton tv lagi, seperti waktu kecil. Bukan karena di kamar kost saya tidak ada televisinya, melainkan saya bingung harus menonton apa.

Saya tidak suka menonton sinetron. Saya tidak suka variety-show yang terus-terusan menjual air mata. Dan saya benci menonton gossip selebriti. Lengkap sudah, dan saya mutlak menjadi manusia yang “susah-menonton-televisi”.

Mengapa saya katakan demikian, karena seperti yang kita tahu, hampir 90% program di televisi swasta ternama, selalu menampilkan program-program dengan tipe yang sama. Gossip Selebriti – Sinetron – Variety Show – gossip selebrity – sinetron-variety show dan seterusnya. Mungkin sesekali saja diselingi oleh tayangan berita atau tayangan adzan. Selebihnya ? Anda tahu jawabannya.

Kecuali jika kita menonton beberapa stasiun televisi berita nasional yang memang hanya menyiarkan acara berita saja. Namun, saya juga sering khawatir dengan stasiun televisi semacam itu. Karena disadari atau tidak, justru stasiun televisi seperti itulah yang akan sering terkontaminasi oleh “kepentingan” dan “aksi-demo-politisi” yang semakin tidak sehat kejiwaannya. Lapar kekuasaan, haus uang. Hal seperti itu yang terus-menerus disorot dan dimasukkan kepada kotak berbentuk kubus atau digital yang berisi partikel-partikel elektronik yang siap membuncahkan animo 200 jiwa penduduk yang hinggap di republik ini.

Anda khawatir? Saya iya.

Saya selalu “senewen” dengan beberapa stasiun televisi yang memiliki program-program yang menurut saya sedikit sekali unsur edukasi di dalamnya. Kisah percintaan remaja muda yang suka mem-permak seragam sekolahnya, sepulang sekolah selalu main ke Mall, mengerjai guru di kelas, aksi bullying kepada teman di sekolahnya, balapan motor liar, hingga fenomena anak SD yang rebutan ‘pacar’, semakin membuat saya ‘jengah’.

Saya paham betul, kita sedang mengalami degradasi budaya dan moral kebangsaan, tapi tolong… Jangan perkuat asumsi itu dengan tayangan-tayangan yang seolah-olah menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang benar-benar sedang mengalami krisis identitas. Tayangan-tayangan seperti ini, justru semakin memberikan contoh kepada anak-anak remaja saat ini untuk bisa meniru figur yang ada di televisi itu. Yang seharusnya, tidak pantas untuk dicontoh oleh bangsa bermartabat seperti bangsa Indonesia.

Kaya budaya, suku, agama, ras, punya adat istiadat, tahu tata krama dan sopan santun, sepertinya sudah lenyap, hilang terbawa arus globalisasi yang bergerak cepat bagaikan angin puting beliung. Yang ada adalah, wajah-wajah yang sedang mengalami “krisis identitas”, “krisis percaya diri”, “follower-budaya-barat”-lah yang justru nampak jelas dari tampilan bangsa Indonesia saat ini.

Impian

Dari masalah-masalah kecil yang sering muncul dari aktivitas menonton televisi inilah, saya mempunyai impian untuk bisa membangun sebuah stasiun televisi swasta.

Saya ingin memiliki stasiun televisi swasta yang programnya saya khususkan untuk menjawab krisis identitas bangsa ini.

 

Di mana, stasiun televisi ini bukanlah stasiun tv yang mengutamakan kepentingan politik, rating program televisi, ataupun kepentingan para investor saja. Melainkan, sebuah televisi yang menjawab kebutuhan setiap orang tua di  rumah. Stasiun televisi yang selalu menyiarkan program-program yang inspiratif dan menjawab kegalauan setiap anak muda akan krisis identitas yang sedang dideritanya.

ANAK-ANAK INDONESIA MISKIN LAGU ANAK-ANAK

mengapa hatiku cenat-cenut setiap ada kamu…”

Mungkin kita sudah tidak asing dengan lirik lagu itu. Itu adalah cuplikan lagu dari boy band papan atas Indonesia, yang kerap kali terdengar, di mana pun kita  berada.
Tidak ada yang aneh dengan lirik tersebut. Yang aneh adalah, ketika lagu ini dinyanyikan oleh seorang bocah laki-laki berumur 5 tahun.
Naluri meniru anak-anak memang sangat tajam di usia tersebut. Mungkin jika hal ini terjadi satu atau dua kali saja, itu tidak masalah. Yang jadi permasalahan adalah, peristiwa ini kerap terjadi, bahkan dialami oleh seluruh anak di Indonesia.
Ya, kasus ini memang tidak ditujukan hanya untuk lagu ini saja. Hal ini ditujukan untuk lagu  yang mempunyai lirik yang sekiranya ditujukan untuk orang dewasa atau para remaja. Karena ketika sang anak menyanyikan lagu yang memiliki lirik yang tidak sesuai dengan umur mereka,  hal ini akan mengganggu psikologis mereka.
Anak-anak akan cenderung lebih mempelajari masalah orang dewasa atau dewasa sebelum waktunya. Sehingga dewasa ini, tidak jarang kata-kata “pacaran” lazim diucapkan oleh anak-anak di bawah umur bahkan di Taman Kanak-Kanak sekalipun mereka sudah mengenal istilah “berpacaran”, suka, cinta dan lain-lainnya.
Kita memang hidup di zaman yang sangat hi-tech, di mana semua informasi sangat mudah untuk di akses. Namun, ketika arus globalisasi menimpa anak-anak di bawah umur, sudah seharusnya kita sebagai pihak pembimbing, pendidik dan orang tua bisa mengarahkan mana yang baik dan mana yang buruk untuk anak-anak di sekitar kita.
Mengapa para komposer lagu di Indonesia saat ini tidak ada yang tertarik untuk membuat lagu anak-anak ?
Itulah yang selalu terngiang dalam benak saya. Coba saja, jika mereka membuat lagu yang bagus, lagu yang easy listening untuk anak-anak, pasti lagu itu akan laku keras.
Apakah para komposer Indonesia sudah kehabisan ide kreatifnya untuk membuat lagu anak-anak ?

KURIKULUM MITIGASI BENCANA DI INDONESIA

Indonesia terletak di kawasan yang sangat rentan terhadap bencana. Gempa bumi, gunung meletus, tsunami, banjir, kebakaran hutan, el nino dan la nina adalah beberapa kejadian bencana alam yang selalu menghampiri negeri ini.
Hal ini diakibatkan karena Indonesia terletak di pertemuan beberapa lempeng tektonik, sehingga membentuk zona konvergen atau adanya subduksi (penunjaman) yang menciptakan beberapa gunung merapi, palung laut dan zona sesar. Terlebih, negara kita terletak di kawasan Ring of Fire (Cincin Api) yang merupakan lingkaran gunung api di bumi ini.
Karena faktor geologis inilah, sehingga negara kita  rentan terkena bencana yang memakan banyak korban. Sebenarnya, ketika kita perhatikan, mengapa di setiap terjadi bencana, selalu memakan korban yang begitu banyak ?
Hal ini dikarenakan penduduk Indonesia yang sangat banyak, dan penempatan lahan kependudukan yang tidak merata.
Penduduk Indonesia banyak yang masih berani tinggal di daerah yang rawan terhadap bencana. Banyak penduduk yang tinggal di zona erupsi gunung merapi. Dalam bagan gunung merapi, terbagi menjadi 3 zona, yaitu zona erupsi, paroksimal dan distal. Di mana seharusnya batas maksimal lahan kependudukan untuk pemukiman di gunung berapi yang masih aktif adalah di sekitar zona distal. Namun, ketika kita perhatikan di kawasan gunung merapi yang ada di kawasan Yogyakarta, masih banyak warga yang menempati pemukiman di wilayah zona erupsi.
Tidak hanya di kawasan gunung berapi saja, ketika kita melihat kawasan pantai selatan pulau Jawa yang notabene sering mengalami gelombang pasang yang tinggi, masih banyak warga yang membangun pemukiman di sekitar pantai dan para nelayan pun masih berani mempertaruhkan nyawa mereka untuk melaut tanpa mempedulikan cuaca, demi memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan dalam mengurangi tingkat korban dalam bencana-bencana tersebut adalah mengadakan sebuah mitigasi bencana sejak dini. Perlu adanya sebuah pembelajaran yang mengemukakan tentang penanggulangan bencana di daerah rawan bencana kepada masyarakat luas.

SURAMADU YANG IRONIS

 Jembatan penghubung antara Pulau Jawa (Surabaya) dengan Pulau Madura (Bangkalan) ini resmi digunakan pada tahun 2009. Saat ini jembatan ini memiliki predikat sebagai jembatan terpanjang di Indonesia, yaitu dengan panjang 5.438 m. Jembatan ini terdiri dari tiga bagian yaitu, jembatan utama, jembatan penghubung dan jalan layang.
Jembatan ini adalah lambang (icon) dari perkembangan teknologi dan infrastruktur yang pesat di Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya. Jembatan Suramadu mempunyai nilai estetika yang berbeda-beda ketika kita lihat di pagi, siang, sore atau malam hari.  Ketika kita lihat di malam hari, jembatan ini memberikan kesan tersendiri bagi yang melihatnya. Jembatan ini dihiasi dengan lampu-lampu jalanan yang berwarna-warni, sehingga menyenangkan hati orang yang melihatnya. Suasana romantis yang diciptakan oleh lampu-lampu yang dipancarkannya pada malam hari, membuat masyarakat yang melewati jembatan ini menjadi tenang dan damai.
 

Jawa Timur Bukanlah Negara

“Para pemilik kendaraan bermotor yang masih menggunakan plat nomor luar Jatim diminta segera melapor ke Samsat dan melakukan mutasi ke Jatim. Karena minggu depan akan dilakukan sweeping kendaraan nopol luar Jatim.” (situs portal wilayah jawa timur)

Mungkin, bukan hanya saya yang kaget, ketika membaca atau mendengar berita tersebut. Saya yakin, sebagian besar para perantau yang membaca berita tersebut akan ” me-nge-luh”.

Jelas, bagi saya, seorang mahasiswa di tahun kedua yang ber-plat nomor “B”, akan terkena efek galau setelah mendengar berita tersebut. Pasalnya, hal tersebut akan sangat merepotkan saya, ketika suatu saat mobil saya harus di-stop oleh aparat karena tidak ber-plat nomor Jawa Timur.

Continue reading

semester 4, semester emas ?

ya. menjadi seorang mahasiswa di semester 4 mungkin bagi sebagian besar mahasiswa di dunia ini adalah sebuah waktu yang “masih” bisa dibuat bersantai. karena, mahasiswa di tahun ke dua ini, tidak akan memakan waktu untuk berkutat dalam dunia skripsi ataupun Tugas Akhir. Tapi, bagi sebagian mahasiswa lainnya, mungkin ini bisa menjadi sebuah semester yang sangat dahsyat. begitu pula dengan saya.
semester ini, saya dihadapkan dengan tantangan yang begitu amazing. Di mana, saat ini, saya diberikan begitu banyak amanah yang cukup besar dan berat.

Continue reading